Nama beliau Zainudin. Orang – orang memanggil Beliau Mbah Din.
Bertempat tinggal di Dusun Patran Desa Sonobekel Kecamatan Tanjunganom
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Tidak ada sedikitpun terpampang di wajah
Beliau tentang sebuah capaian hidup yang hanya bertujuan pada
hinggar-bingarnya dunia. Banyak sekali kisah – kisah tentang Beliau yang
menurut saya adalah hal mustahil di jaman serba tekhnologi sekarang
ini.
Suatu ketika : Ada seseorang anggota jamaah TC naik
sepeda motor, yang ketika itu belum aktif ikut mengaji di rutinan TC, berpapasan dari belakang dengan Beliau disuatu jalan raya. Ketika itu
Mbah Din naik sepeda ontel dengan segala rentetan aksesoris yang selalu
setia menempel di sepeda ontel khas Beliau. Tidak banyak yang menganggap
beliau sebagai orang gila karena penampilan luarnya. Pun tidak berbeda
dengan si dulur TC ini. Dari belakang dia ingin sekali mendahului Mbah
Din, sambil mbatin dalam hatinya.“iki wong gendeng numpak sepeda gak ndang gageh” || (ini orang gila tidak bergegas ngayuh sepedanya). Saking tidak sabarnya Ia, sehingga Ia pun
menyalip Mbah Din yang dengan santai mengayuh sepeda ontelnya. Tidak
lama kemudian si dulur TC ini sampailah di sebuah jembatan yang
lokasinya agak jauh dari tempat Ia mendahului sepeda Mbah Din tadi, tapi
ternyata terlihat Mbah Din sudah ada di sebrang jalan seolah Mbah Din
yang mendahului si dulur TC ini. Tanpa sadar, entah apa sebabnya
petualangan spiritual si Dulur TC ini membawa Ia untuk bergabung dan
selalu rutin mengikuti lingkar maiyah tasawwuf cinta di daerah
Tanjunganom.
Kisah kedua :
Ada kalanya Mbah Din pergi ke sebuah
warung untuk membeli es teh bungkus. Waktu itu si pemilik warung
mengganggap Beliau sebagai orang gila, dan tidak begitu diperhatikan
niat Mbah Din untuk membeli es teh. Namun, ketika si pemilik warung ini
segera memberi es teh yang Mbah Din beli, betapa kagetnya Ia melihat
Mbah Din mengeluarkan banyak sekali uang dengan pecahan seratus ribuan
dari kantong kecilnya. Orang – orang di warung tersebut memperkirakan
bahwa uang yang ada di dalam kantong Mbah Din lebih dari satu genggaman
tangan orang dewasa yang kira-kira jumlahnya beberapa juta. Kemudian
segera si pemilik warung meminta maaf dan beristighfar karena telah
mengganggap Beliau orang gila.
Kisah ketiga :
Suatu ketika saya beserta teman – teman
mengadakan rembug maiyah TC. Waktu itu saya meminta kepada rekan – rekan
TC untuk berkumpul di Mushollah Padepokan Abdi Kinasih dan rembug
tersebut diadakan secara mendadak. Karena kebutuhan administrasi guna
melengkapi data tiap simpul oleh koordinator simpul. Tidak dikira, Mbah
Din yang waktu itu kondisi cuaca di sekitar Tanjunganom memang sedang
diguur hujan lebat, datang dengan sepeda ontel khas Beliau. Ketika itu
juga saya hanya berfikir, apa yang membuat Beliau datang? Siapa yang
memberitahukan bahwa kami sedang bingung bagaimana cara mendapatkan data
para anggota penggiat. Beliau kemudian datang dengan senyum khas Beliau
bak air hujan di tengah gersangnya perkebunan. Beliau memberi satu-dua
kalimat, kemudian pamit undur diri, entah bagaimana kelanjutannya saya
seperti mendapat pencerahan, dengan mudahnya saya mengisi data – data
tersebut.
Mbah Din mempunyai beberapa anak.
Berkecukupan dan sudah mempunyai rumah. Namun, Beliau membuang itu
semua. Beliau memilih untuk tinggal di tepi sebuah makan di Dusun
Patran. Dulur – dulur TC menyebut kediaman baru Beliau ini dengan
sebutan Pesanggrahan Cokro Manggilingan.
Dan yang terakhir adalah tentang
pendakian puncak Sadepok di Gunung Wilis. Betapa saya kagum melihat
video dan foto yang beredar pendakian Beliau ke sana kemarin. Manusia
seusia Beliau masih mampu mendaki puncak setinggi itu. Kalaupun anak
muda atau orang setengah baya saya masih biasa saja melihatnya, lha ini
simbah – simbah seusia segitu lohh…
Saya bermuwajjahah dengan Beliau bisa
dihitung jari. Tetapi lelaku Beliau dari cerita dulur – dulur TC dan
yang saya lihat sendiri, memberikan saya pemahaman yang begitu dalam.
Saya merasa telah lama mengenal Beliau. Sebuah nama, sebuah pola hidup,
sebuah garam kehidupan yang mengedepankan filosofi paku. (Jasa sebuah
paku sangat tidak ternilai, 99% berada di dalam tembok atau kayu dan
hanya 1% yang kelihatan bahwa dia adalah paku. Namun, tanpa paku suatu
benda atau apapun tidak akan tersistem dan terbentuk dengan sempurna.
begitupun dengan garam, dalam hal apapun dia tidak akan terlihat tetapi
tanpa garam apapun akan berasa hambar.) Dan saya masih bertanya dalam
kesadaran saya, apakah garam dan paku bisa dikatakan sebagai wali? (Azizah N)